Monday, November 28, 2016

DEAR SOFT BAKED CHOCOLATE CHIP COOKIES

Aku kembali larut dalam kesendirian menikmati sore di Alfamart. Berbekal sekotak susu Ultra rasa cokelat dan sebungkus Good Time Chocolate chip yang begitu manis. Seperti biasanya, pintu kaca Alfamart membuka menutup karena ramai pengunjung sore itu. Salah satu pramuniaga yang ku kenal bernama mbak Ida menyapaku,
“ Mbak Ria tumben kesini lagi?”.“ Hehe, iya mbak!” Jawabku nyegir.Dia kembali menyusun Chitato yang ada di dalam kardus. Aku pun kembali larut dalam tulisan yang sedang ingin kuceritakan saat ini. Kembali menatap layar ponsel dan mengajak jari-jari menari diatas keyboard yang selalu menemani disaat ingin sendiri. Sesekali kulayangkan pandanganku ke balik kaca besar yang menjadi sekat di toko ini.Melihat aktivitas kota di hari Minggu yang tampak sepi ditemani aroma hujan yang masih begitu membekas menyentuh hidung para pemakai jalanan. Ada yang kebut-kebutan, ada yang pelan menikmati perjalanan, dan ada pula yang kebut-kebutan dan tidak tahu aturan. Jenuh mulai menghinggapiku. Aku melepas pandanganku dari layar ponsel. Memperhatikan ketegangan yang mbak Ida alami saat diprotes oleh seorang tante yang pulsanya tidak masuk. Seorang tante yang bibirnya begitu merah karena lipstiknya yang begitu tebal dan alis hitam seperti Shincan. Terlihat sangar dan menakutkan. Aku bisa merasakan bagaimana ketegangan yang mbak Ida hadapi saat berhadapan dengan ibu-ibu yang ucapannya sudah tidak terkontrol karena hal sepele. Begitulah resiko dalam melayani orang-orang yang memiliki sifat yang terkadang membuat kita harus memaku dengan kuat kesabaran diatas kepala.Kusedot perlahan susu Ultra yang sudah lama melihatku sibuk dengan memperhatikan dan bergosip dalam hati karena tante itu. Lalu kuambil sebiji chocolate chip cookies yang berjejer rapi di dalam bungkusnya. Tanpa sengaja aku memperhatikan biskuit cokelat yang kuambil. Mengingat bagaimana Ibu Ruth secara tidak sengaja menciptakannya. Begitu pula denganku yang secara tidak sengaja memberinya nama itu. Lewatkan dulu beberapa saat cerita tentangnya. Kembali dengan sejarah bagaimana chocolate chip cookies tercipta. Ibu Ruth adalah seorang ahli gizi lulusan Framingham State Normal School Department of Household Art. Nama lengkapnya Ruth Graves Wakefield, seorang pemilik penginapan di Amerika bernama Toll House. Saat itu ibu Ruth akan membuat hidangan untuk para pengunjung penginapannya, namun karena coklat bubuknya habis, Ibu Ruth mempunyai akal untuk memotong coklat batangan kecil-kecil lalu dicampur dengan adonan tepungnya. Bukannya meleleh menyatu dengan adonan, tapi hanya meleleh ditempatnya dan menimbulkan motif polkadot pada kue tersebut. Sejak itulah tercipta chocolate chip cookies yang aku nikmati saat ini.Seperti ketidaksengajaanku memberikannya nama itu. Cocholate chip cookies seperti lagu Adhitya Sofian yang berjudul ”Dear Soft-baked chocolate chip cookies”. Langit sudah berubah warna, itu berarti aku harus kembali ke rumah. Kurapikan barang-barangku yang tergeletak diatas meja besi. Menghabiskan dua buah biskuit cokelat yang tersisa. Menghidupkan paket data yang selama satu jam tujuh belas menit kumatikan. Beberapa grup Line masuk menyerbu dengan suara yang begitu berisik, broadcast bbm, dan tentunya pesan whatsapp manis, dari chocolate chip cookies yang begitu manis untuk hari yang manis walaupun pulang dengan perut meringis. πŸ˜€

Tuesday, September 13, 2016

ROSETTA

“Mengapa kau enggan untuk keluar pada siang hari ?” Tanya Mascarpone pada gadis yang sedang duduk di depannya.
“Aku tidak suka melihat cara orang memandangku!” Jawab gadis berambut hitam sebahu dengan celemek yang selalu menggantung di lehernya.
“Kau cantik, Rosetta! Mengapa kau harus tidak suka pada mata-mata yang belum tentu lebih baik darimu? Ayolah Rosetta, sesekali keluarlah, nikmati matahari dan bunga-bunga yang ada di taman pelangi itu!”
“ TIDAK! Aku tidak ingin datang kesana lagi!!” Bentak Rosetta pada Mascarpone seraya bangun dari tempat duduknya.
Rosetta meninggalkan teman-temannya di atas meja. Mascarpone, Sugar, Flour, Egg, dan semua teman yang membantunya menciptakan dessert setiap harinya. Rosetta, wanita berusia dua puluh lima tahun dengan rambut berwarna hitam sebahu yang selalu diikatnya. Wanita yang selalu menggantungkan celemek di lehernya. Sudah lima tahun terakhir ini Rosetta tinggal di bangunan reot di samping Pabrik tepung. Itu adalah sepetak bangunan peninggalan orangtuanya. Rosetta menganggap bangunannya itu adalah sebuah dapur bernilai satu milyar,. Dapur itu terlihat kumuh. Dapur dengan tembok bata dan pintu kayu rapuh yang sudah dimakan rayap. Orang-orang yang melintas mungkin enggan untuk mendekat. Mereka menganggap bangunan itu tak berpenghuni, karena sekalipun pemiliknya tidak pernah keluar pada siang hari. Namun aroma-aroma kue dan masakan sering tercium oleh hidung-hidung para pemakai jalan.
Suara mixer berbunyi, Sugar, Flour, Egg, Mascarpone, Milk, Unsalted butter berkolaborasi menjadi satu. Masuk ke dalam kotak kaca yang bersuhu dibawah 0°. Tiga jam kemudian mereka keluar lalu menciptakan kolaborasi indah dipuncak ketika Strawberry tiba-tiba mendatangi mereka. Terciptalah dessert yang pertama kali dibuat oleh bangsa Yunani Kuno yang dulunya disajikan untuk para atlet ajang olimpiade yang pertama digelar. Cheese cake, nama dessert yang akan dibawa Rosetta malam itu. Bukan untuk disajikan kepada para atlet, namun untuk dibawa ke toko kue di sebrang jalan dekat dengan dapur kumuhnya.
“Rosetta, jangan lupa syalmu!” Kata Flour mengingatkan.
“ Topimu juga!” Sambung Egg.
“ Baik, terima kasih teman-teman manisku !” Jawab Rosetta.
“ Tersenyumlah! Tidakkah kau ingin meninggalkan senyuman manismu pada kami sebelum kau berangkat ke toko bibi Vidia?”
Terlihat wajah mungil dengan hidung mancung dan mata bening membentuk garis senyum dari bibir mungilnya.
“Hati-hati Rosetta!” Kompak Flour, Egg, dan Sugar.
Rosetta mengangguk lalu keluar dari dapur satu milyarnya. Langkahnya rapuh, berjalan menunduk seperti takut pada dunia. Hawa dingin yang meresap masuk ke dalam tubuh Rosetta.Ditelusurinya jalanan yang dipenuhi kubangan air. Dengan wajah yang dipenuhi debu tepung dan senyum yang tercipta dari bibir merah mudanya Ia mengatakan
"Tidak apa-apa"
Dihitungnya langkah demi langkah, setitik air jatuh di tangan mungilnya.
"Seperti inikah takdir, Ia akan jatuh tepat di genggamanmu?"
Ditelusurinya hati yang tadi terancang rapi lalu tiba-tiba menjadi tak menentu ujungnya seperti labirin yang membuat manusia sulit menemukan jalan keluar. Jalanan kota saat itu begitu sepi. Ada sepotong kisah yang dikhawatirkannya layaknya sisa potongan roti yang hilang sedangkan Ia akan membaginya pada teman-teman yang tinggal bersamanya. Ada resah yang tertinggal dalam ujung otaknya. Resah yang membuat matahari pagi terasa lebih panas daripada goresan besi panas yang menguliti telapak tangannya. Adakah celah untuk kenyamanan hadir diantara keresahan itu? Sepertinya terlalu kecil seperti lubang semut yang tak tampak ketika kau tidak menatapnya lebih dekat. Suara angin malam seperti kawanan anak kecil yang bermain riang terdengar seperti menertawakan wanita dengan jaket tebal, bertopi cupluk dengan syal dilehernya itu. Toko tempatnya mengantarkan Cheesecake sudah terlihat dari sebrang jalan. Perlahan kakinya melewati garis hitam-putih dijalan sambil menghitungnya.
“Satu, dua, tiga, emp….” Langkahnya terhenti.
Dua pasang kaki besar dengan sepatu pantofel coklat tepat didepan matanya. Diangkatnya pandangannya untuk melihat pemilik kaki tersebut. Matanya terbelalak, berkaca lalu badannya bergerak menghindar mengacuhkan pemilik kaki tersebut, lalu melanjutkan perjalanan dengan langkah cepat menuju toko bibi Vidia.
“Selamat malam Bibi Vidia!” Sapa Rosetta dengan suara bergetar seperti akan menangis.
“Mengapa suaramu seperti itu gadis kecilku? Kau kedinginan?” Tanya Bibi Vidia dengan lembutnya.
Rosetta meletakkan Cheesecake itu kedalam cakestation lalu berjalan kearah bibi Vidia dan langsung memeluk erat bibi Vidia. Bibi Vidia adalah sahabat ibu Rosetta sejak kecil. Sejak ibu Rosetta meninggal, bibi Vidia adalah satu-satunya yang dianggap Keluarga oleh Rosetta. Badan besar bibi Vidia mampu membuat tubuh mungil Rosetta nyaman.
“Kau kenapa? Ceritalah, bibi akan mendengarkanmu!”
“Aku bertemu orang itu lagi! Aku takut!”
“Apa yang ia katakan?”
Rosetta menggeleng.
“Jangan takut, dia tidak akan menyakitimu! Pulanglah, mandi dengan air hangat, lalu tidurlah! Lihat wajahmu, penuh dengan sisa debu tepung yang menempel! Bagaimana kau akan bertemu dengan laki-laki nantinya jika kau terus seperti ini?” Kata Bibi Vidia seraya menghapus air mata Rosetta.
Rosetta tersenyum kecil.
“Laki-laki tidak akan berani mendekati wanita dengan debu tepung di wajahnya! Dan sepertinya aku tidak butuh mereka. Mereka hanya suka pada wanita dengan bedak tebal dan lipstik warna-warni di bibirnya.”
“Tidak semua seperti itu, suatu saat kau akan bertemu dengan seseorang yang akan mengusap debu tepung itu dari wajahmu!”
“Tidak, Bibi! Tidak ada yang seperti itu! Ayah saja belum pernah mengusap debu tepung ini dari wajahku. Bibi aku pamit!”
Rosetta meninggalkan bibi Vidia dan langsung pulang kerumah. Saat Ia pergi, seorang laki-laki memasuki toko kue bibi Vidia.
“Selamat malam, Vidia!” Sapa laki-laki bermantel hitam dengan menggunakan sepatu pantofel coklat.
Bibi Vidia seperti sudah terbiasa dengan kedatangan laki-laki itu setiap malam.
“Tidakkah kau begitu kejam pada anakmu?” Ucap Bibi Vidia dengan nada marah.
“Aku menunggunya, aku selalu memperhatikannya setiap malam ketika dia mengantarkan kue ke tokomu, tapi dia selalu menghindar dariku!”
“Bagaimana dia tidak menghindar darimu, Kau selalu terdiam ketika bertemu dengannya! Itu membuatnya takut! Tidakkah kau merasa sedih ketika anakmu sendiri takut padamu?”
“Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku membawanya ke psikiater?”
“Beraninya kau menganggap anakmu gila!! Lebih baik kau pulang saja kerumah istanamu bersama dengan wanita itu!!!! Dia anakku, bukan anakmu! ” Kata Bibi Vidia dengan marahnya.
“Kau tidak pernah mendengar apa yang dikatakan orang-orang tentang Rosetta! Orang-orang menganggapnya gadis gila yang sering berbicara sendiri dan tertawa sendiri di dalam bangunan reot itu! AKU! Aku sering melihatnya dari jendela depan yang tertutup oleh tumpukan debu! Dia berbicara dengan bahan-bahan kue, bermain tanpa teman, tertawa tanpa teman, menurutmu apa lagi yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan anakku kalau bukan membawanya ke psikiater?!!”
Kata-kata laki-laki itu membuat Bibi Vidia sangat marah. Bibi Vidia tetap mengusir laki-laki itu dari tokonya. Laki-laki itu pun pergi jauh, menghilang ditelan oleh gelapnya malam.
Terik matahari pagi menerobos masuk ke celah-celah ventilasi dapur Rosetta. Rosetta berdiri di bawah ventilasi untuk menikmati terik mentari yang menyentuh kulit wajahnya. Hari itu, pertama kalinya Rosetta akan keluar pada siang hari setelah lima tahun terakhir. Dia akan ke rumah sakit mengunjungi bibi Vidia yang dirawat karena terjatuh di kamar mandi. Dengan menggunakan dress round neck lengan pendek berwarna putih dengan flower border tassel patchwork longgar dan sepatu sneakers putih, ia berjalan menyusuri jalanan kota yang begitu panas hari itu dengan membawa sekotak blackforest coklat kesukaan bibi Vidia. Rumah sakit itu tampak ramai. Rosetta memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumah sakit itu. Ia bertanya pada satpam dimana ruangan tempat bibi Vidia dirawat.
“ Selamat siang bibi Vidia!” Sapa Rosetta saat memasuki kamar tempat bibi Vidia di rawat.
“ Aneh sekali rasanya! Biasanya kau hanya mengucapkan selamat malam padaku, ini pertama kalinya aku mendengar kau mengucapkan selamat siang. Sini mendekatlah, aku ingin memelukmu!”
Rosetta mendekati tempat tidur bibi Vidia lalu menghamburkan pelukan hangat untuk bibi Vidia.
“Apa yang membuat gadis kecilku berani keluar di siang hari seperti ini? Apa kau ditemani oleh lelaki tampan yang mau mengusap debu tepung di wajahmu? Wah, bajumu indah sekali!”
“Tidak, Bi! Aku ditemani oleh teman-temanku.”
Bibi Vidia mengangguk sekaligus kebingungan mendengar pertanyaan Rosetta.
“Masuklah, bibi Vidia ingin berkenalan dengan kalian. Kenalkan, ini bibiku, Vidia. Bibi, ini Flour, Egg, Mascarpone dan Sugar. Aku tinggal bersama mereka di dapur satu milyarku.”
Bibi Vidia mengangguk dan segera memeluk Rosetta erat. Rosetta kebingungan melihat bibi Vidia seperti itu. Ini pertama kalinya bibi Vidia melihat keanehan yang terjadi pada Rosetta.
“Kenapa kau menangis, bibi?”
“Tidak, aku hanya bahagia masih bisa melihatmu tumbuh menjadi seorang wanita cantik seperti saat ini. Bisakah kau membelikan bibi jus apel di loby? Bibi ingin sekali meminum jus itu!”
“Baiklah, aku pergi dulu ya! Bibi akan dijaga oleh teman-temanku!”
Rosetta berjalan menuruni puluhan anak tangga. Aroma rumah sakit yang khas seperti aroma tempat dimana ibunya meninggalkannya pergi. Ketidaknyaman menghinggapi perasaannya yang dipenuhi luka disetiap sudutnya. Ia masih seperti gadis kecil yang tidak tahu apa-apa tentang dunia. Yang Rosetta tahu hanyalah bibi Vidia, selebihnya dia tidak memiliki teman. Teman-temannya tidak pernah menghubunginya lagi sejak lima tahun yang lalu. Rosetta seorang introvert. Dia tidak memiliki teman akrab atau sahabat. Ibunya meninggal sejak usianya dua puluh tahun, lalu ayahnya pergi dan meninggalkannya tepat sehari setelah pemakaman ibunya. Ia ditinggalkan di bangunan reot dan kumuh disamping Pabrik tepung. Bangunan itu pernah akan dibeli oleh Pabrik tepung tersebut, namun Rosetta menolaknya. Ia akan menjual dapurnya itu jika ada yang berani membayar satu milyar. Namun idenya itu membuatnya dianggap gila oleh orang-orang disekitarnya. Karena itu Ia tidak pernah keluar di siang hari, ia tidak suka melihat tatapan orang-orang saat melihatnya. Ia tak suka dianggap gila oleh orang-orang.
Di kamar, bibi Vidia merogoh handphone dari kantongnya lalu menguhubungi seseorang.
“Halo, Judy! Kemarilah, dia ada disini bersamaku! Aku akan memberikanmu kesempatan satu kali saja!”
Bibi Vidia meletakkan handphone tersebut di meja dekat tempat tidurnya lalu membaringkan diri. Rosetta yang masih di lobby masih terpaku berdiri di depan seorang laki-laki bersepatu pantofel coklat. Rosetta terjatuh tak sadarkan diri.
****
Taman pelangi yang terletak di samping rumah sakit tempat ibu Rosetta di rawat adalah taman favorit Rosetta. Setiap pagi ia selalu menikmati terik matahari yang selalu tidak sopan menyentuh wajah mungilnya, menggelitik perutnya hingga tawa menjadi cerita di dalam taman pelangi itu. Ayahnya selalu menemaninya menikmati pagi di kursi taman yang terbuat dari kayu itu. Tawa menjadi kisah pertama yang Rosetta tulis di kursi taman tersebut. Lalu tangis menjadi kisah kedua yang ditulisnya saat ibunya meninggal, dan luka menjadi kisah terakhir yang ditulisnya saat melihat ayahnya pergi meninggalkannya.
“Rosetta, Rosetta, Rosettaa!” Panggil seorang wanita menggunakan dress fair Valentino berlipit motif patchwork dan berjas putih.
Rosetta terbangun. Ia masih belum sadarkan diri sepenuhnya. Ruangan putih dengan tempat tidur pasien yang disampingnya terdapat meja kecil tempat lampu tidur berdiri masih membuatnya bingung. Terik matahari yang muncul ketika wanita itu membuka jendela kamarnya membuatnya merasakan perasaan sakit yang Ia sendiri tak tahu apa alasannya. Rasa sakit karena sebuah perpisahan yang menyenangkan yang pada akhirnya tidak berarti apa-apa. Jika ia tahu, ia akan menangisi semuanya kemudian mengeluarkan semuanya.
“Selamat pagi Rosetta!” Sapa wanita itu.
“Selamat pagi, Dokter Jane!” Jawab Rosetta.
“Sudah siap untuk obrolan hari ini?”
Rosetta mengangguk. Ia turun dari tempat tidurnya. Wanita berwajah mungil dengan mata sembab menjadi kisah di hidup wanita berusia dua puluh lima tahun ini. Langkahnya rapuh, angin mungkin saja akan membuatnya terjatuh dengan hembusannya. Dingin mungkin saja akan membuat tubuhnya terluka jika tidak terlindungi oleh mantel hangatnya. Hujan akan menyakitinya jika payung sudah tidak bisa lagi menjadi pelindung. Tubuh mungilnya terlihat cantik menggunakan dress round neck lengan pendek berwarna putih dengan flower border tassel patchwork longgar walaupun tanpa menggunakan alas kaki. Rambut hitamnya tergerai menutupi punggung rapuhnya. Ia duduk di depan dokter Jane.
“ Oke Rosetta, apa kabar hari ini?” Tanya dokter Jane memulai pembicaraan.
“Baik!”
“ Belakangan ini, seberapa sering kamu bermimpi?”
Rosetta menunduk sambil tersenyum pendek.
“atau ada tempat yang membuatmu tidak nyaman?” sambung dokter Jane.
“Suatu hari tiba-tiba aku merasa aneh. Tubuhku terasa aneh. Seperti itu bukan aku. Dokter Jane, tidakkah kau merasa cuaca hari ini sangat aneh?”
“Apa maksudmu? Mengapa cuaca hari ini sangat aneh?”
“Entahlah, cuaca ini membuatku merasakan ada seseorang yang akan datang dan melihatku.”
“Siapa? Apakah kamu berfikir itu akan terjadi?”
Rosetta terdiam. Mengingat saat dimana suara langkah kaki mendekati kamarnya. Seorang laki-laki bermantel hitam dan bersepatu pantofel coklat berdiri di depan pintu kamarnya. Ia sedang tertidur dengan posisi telungkup dengan kepala menghadap pintu. Ketika Ia melihat laki-laki itu berdiri, Ia segera membalikkan posisi kepalanya agar Ia tidak melihat laki-laki itu datang.
“Rosetta, ayahmu sudah meninggal, benarkah?” Sambung dokter Jane membuyarkan lamunan Rosetta.
Rosetta menunduk tampak berfikir. Pertanyaan dokter Jane tidak dijawab langsung olehnya. Lagi-lagi ia mengingat saat ia berjalan di taman pelangi, laki-laki bermantel hitam itu mengikutinya dari belakang. Rasa takut kemudian menghampirinya. Dengan kaki telanjang tak bersepatu ia berlari kembali ke kamarnya. Nafasnya terengah-engah saat tiba di pintu kamarnya kemudian mendadak nafasnya berhenti saat sebuah tangan besar menyentuh pundaknya. Rosetta tampak terkejut.
“Kenapa Rosetta? Apa yang sedang kau fikirkan? Kau belum menjawab pertanyaanku, ayahmu sudah meninggal bukan?”
“Dia datang kembali, semua orang berfikir dia adalah ayahku, tapi orang itu bukan ayahku!”
Mata Rosetta menatap dokter Jane yang sedang terlihat mengisi beberapa catatan. Rosetta kembali larut dalam lamunannya. Lamunan yang membuatnya menjadi menangis histeris yang membuat dokter Jane terkejut.

***



ANJING KAMPUNG

Malam itu aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit.
Menikmati aroma alkohol dan obat-obatan.
Mendengar suara tangis bayi dari ruang NICU.
Mendengar suara ventilator dari ruang ICU.
Mendengar suara nafas para pemilik paru-paru yang sedang terbaring lemah di tempat itu.
Mengapa terasa pengap?
Aku keluar dari tempat itu.
Menikmati angin malam yang begitu dingin.
Angin malam yang menyakiti hatiku begitu dalam.
Aku lelah.
Aku duduk di kursi taman rumah sakit.
Taman dimana aku bisa mendengar nafas pohon yang sekarang sedang memperhatikanku.
Hai bunga pukul Sembilan yang malam ini sedang tertidur pulas,
Bolehkah aku mengganggumu dengan tangisan yang akan membuat riuh rumahmu ini?
Aku mengangkat pandanganku, melihat seorang perempuan yang persis sama sepertiku.
Ada apa dengan perempuan yang duduk di bawah lampu jalanan itu ?
Rambutnya terikat rapi dengan tali berbulu berwarna merah jambu.
Sepertinya sweater  putihnya tak sanggup melindungi tubuhnya dari hawa malam ini.
Tangannya memegang patahan ranting, menari-menari menciptakan lukisan abstrak di atas tanah.
Rintikan air terjatuh dari kedua sudut matanya.
Apa yang membuatnya menangis?
Aku beranjak duduk di depannya.
“Apa yang membuatmu menangis?” Tanyaku pada perempuan yang terlihat seperti kembaranku.
Dia mengangkat wajahnya, melihatku dengan tatapan yang begitu dalam.
“Siapa lagi yang harus kau percayai saat ini ketika seseorang yang paling kau percaya mengkhianatimu?”
Aku terdiam.
Seperti pertanyaan yang langsung menusuk ujung jantungku.
“Masihkah kau bisa mempercayai seseorang setelah apa yang terjadi padamu saat ini?”
Pertanyaan itu menggema di telingaku.
Dingin. Dingin sekali.
Aku berdiri.
Dia pun berdiri.
Mengikuti kemana aku pergi.
Tiba-tiba Ia berhenti di depan sebuah kamar Irna 1B.
Dia memanggilku.
“Lihat, apa yang kau lakukan jika melihat orang yang kau sayang tersakiti oleh orang yang kau percaya untuk menjagamu? Masih merasa amankah kau hidup di dunia jika tidak ada yang kau percaya untuk menjagamu?”
Dia menunjuk seorang wanita yang terlihat seperti ibuku menangis di bawah jendela kamar tempat ayahku dirawat.
“Apa yang akan kau lakukan jika ada suara anjing yang menganggu kenyamanan tidurmu saat malam hari?”
Aku terdiam.
“Bukan hanya tidurmu saja, anjing itu menghampirimu lalu mengendus-ngendus ingin diberi makan oleh ayahmu. Lalu menggonggong kearah ibumu dan akan menggigit ibumu ketika ibumu melihatnya bermanja-manja dengan ayahmu. Tidakkah kau ingin memberi tusukan pisau paling tajam di dunia untuk anjing itu? Memotong lidahnya yang menjilat-jilati ayahmu, menjambak bulunya yang mengotori sofa dirumah, dan menyiram wajah lucunya yang terlihat menyedihkan dengan air raksa . Bukankah itu tindakan paling tepat untuk membuat anjing itu keluar dari rumahmu?”
Aku terpaku.
Terdiam.
Mulutku tak bisa terbuka. Seperti ada lem kuat yang sudah diciptakan air liur untuk menutup mulutku.
Air mataku mengalir seperti kran air yang sedang bocor.
Dering dari telepon genggamku berbunyi.
Ada satu panggilan telepon.
“Halo!”
Terdengar suara gonggongan anjing yang terdengar seperti mengkhawatirkan keadaan ayahku.
Suara gonggongan anjing yang ingin tahu keberadaanku.
Suara gonggongan anjing yang ingin bertemu denganku.
Suara gonggongan anjing yang mencoba menenangkanku.
Suara gonggongan anjing kampung yang mencoba menjadi anjing kota.
Suara gonggongan anjing yang mencoba menjadi anjing yang baik dan lucu.
“Bukankah semanis-manisnya anjing dia akan tetap menjadi anjing yang suatu saat akan menggigitmu?”
Suara perempuan yang tadi kutemui di bawah lampu jalanan masih terdengar jelas.
“Sebersih-bersihnya anjing dia akan meninggalkan kotoran di sofa putihmu?”
Aku langsung menutup telepon itu.
Lututku terasa lemas hingga tak mampu berdiri.
Bahkan perempuan yang bersamaku tadi tidak punya cukup tenaga untuk membantuku berdiri.
Aku berpegangan pada dinding yang membantuku berdiri saat itu.
Dinding itu menggenggam tanganku dan membantuku berjalan menyusuri koridor rumah sakit.
Dia melepas genggamannya saat aku berada di sebrang jalanan di depan taman rumah sakit.
Aku jatuh terkulai lemas di bawah lampu jalanan malam itu.
Lampu jalanan yang mampu memberiku cahaya dikala gelapnya malam menghalangi langkahku.
Sesaat kemudian aku terbangun dan duduk tepat dibawah cahaya bola lampu jalanan itu.
Ranting-ranting pohon yang sudah kering berhamburan di sekelilingku.
Aku mengambil satu ranting lalu mematahkannya menjadi dua.
Aku mencoba menyambungkannya lagi, tapi tidak bisa.
Sekeras apapun usahaku, ranting itu tak akan kembali utuh seperti semula.
Dia hanya ranting, ranting terjatuh dari pohon tempatnya hidup selama ini, lalu tersapu oleh kumpulan kayu tipis dan dibakar oleh batang kayu yang dilapisi fosfor.
Tiba-tiba aku mendapati kaki seseorang berhenti tepat di depanku.
Aku mengangkat wajahku.
Seorang perempuan yang terlihat seperti aku.
“Lihat ke arah gerbang rumah sakit!” Katanya tiba-tiba.
Aku menoleh.
Disana ada seekor anjing berbulu putih bersih dengan mata yang bersinar tajam berjalan akan memasuki pintu rumah sakit.
Air mataku menetes.
Tanganku meremas habis sisa potongan ranting tadi.
“Apakah kau akan diam saja menangis dan tidak berguna seperti ini?”
“TIDAK!” Kali ini aku menjawab pertanyaan perempuan itu.
Aku bangkit dan mengambil potongan ranting yang lebih besar dari yang kupatahkan tadi.
Aku berlari ke arah dimana anjing itu berada.
Dia menatapku dengan tatapan tajamnya, seakan akan menggonggong dan menggigitku.
Namun dengan langkah kecil dia menghampiriku dan menjilat-jilati lidahnya di kakiku.
“Tidakkah kau paham bahwa air liurmu adalah air liur ternajis yang pernah menyentuh kakiku? Oh iya, aku sampai lupa bahwa kau adalah seekor anjing betina yang tak memiliki otak, tak memiliki perasaan dan hanya bisa menggonggong kesana kemari meminta makan pada majikan yang memakai sepatu pantofel hitam.Hh.”
Dia terus menjilati kakiku.
“Apa tujuanmu menggonggong ibuku saat ia melihatmu? Tidakkah kau takut seseorang akan mengambil anakmu yang kau tinggalkan sendiri dikandang usangmu itu? Bisakah kau hanya merawat anakmu bukan berkeliaran kesana kemari bersolek seperti wanita malam? Tidak!Tidak! Aku salah lagi, kau bukan manusia! Kau hanya seekor anjing betina! PERGI! JANGAN PERNAH DATANGI RUMAHKU LAGI!”
Aku menjadi geram.
Emosiku memuncak.
“Sebelum aku memukulmu menggunakan kayu ini, bisakah kau pergi jauh dariku saat ini juga?”
Anjing itu tampak takut. Suara gonggongan seperti malam bulan purnama terdengar dari anjing itu.
“Maaf aku hanya manusia yang tak mengerti bagaimana bahasa binatang. Pergilah! Selagi aku masih menjadi anak gadis manis yang memintamu pergi baik-baik. Atau apakah kau mau aku membuatmu berdarah dengan menghilangkan satu bola matamu yang bening dan cantik itu? Atau mungkin saja kau mau lidahmu hilang agar kau tak mampu lagi menikmati rasa manis sedikitpun? Atau bisa saja mulutmu kujahit hingga kau hanya bisa mengerang menggunakan tenggorokanmu? PERGILAH SELAGI AKU MASIH MEMINTAMU BAIK-BAIK!”
Hhhhhh-
Aku mengeluarkan semuanya malam itu.
Sepertinya anjing itu takut mendengar ancamanku.
Aku melihatnya pergi kearah jalanan yang begitu sepi malam itu.
Mataku masih memerah memperhatikan langkahnya yang bersolek seperti wanita penghibur.
Tidak! Tidak!
Dia seekor anjing betina, bukan seorang manusia.
Aku berbalik arah, kembali berjalan lemah ke tempat dimana aku bisa menemukan cahaya.
Disana, aku melihat perempuan itu melambaikan tangannya padaku.
Aku duduk disampingnya. Dibawah lampu jalanan yang cahayanya masih kuat bersinar malam itu.
Tiba-tiba dia memelukku lalu menyatu kedalam tubuhku.
Tanganku masih menggenggam erat potongan ranting kayu itu.
Kuat. Erat.
Tanpa aku sadari ranting itu marah padaku, Ia melukaiku.
Melukai tanganku.
Tik.Tik.Tik.
Cairan merah yang mengalir dari tanganku itu terjatuh di daun-daun yang gugur dekat dengan ranting-ranting yang berhamburan.
Tanganku terluka.
Mengapa yang terasa perih hatiku?
Kugenggam ranting itu lebih erat.
Cairan itu semakin banyak. Sekarang terasa perih. Sakit.
Aku membuang ranting itu.
Bahkan ranting yang tak bernyawapun bisa melukaiku.
Ranting yang akan kugunakan untuk memukul anjing betina yang kini perlahan hilang ditelan oleh gelapnya malam.

OKTOBER, 2014.
Suatu Malam Yang Dingin.


Saturday, September 10, 2016

Kebosanan yang diciptakan Sabtu di Alfamart

Sepasang kaki dengan sneaker putih memasuki pintu kaca.
Ingin menyendiri dengan para penjaga toko pemilik pintu kaca itu.
Ingin lari dari kebisingan dunia yang belakangan ini terlalu mencampuri hidupnya.
Duduk di high chair di balik kaca besar yang menembus langsung ke jalanan kota.
Melihat aktivitas sore kota yang begitu ramai.
Matahari tampak sudah perlahan turun di ufuk barat.
Sinarnya menyilaukan mata para pemakai kendaraan yang akan menyusuri arah barat.
Merasakan tatapan beberapa pasang mata yang mungkin bertanya-tanya " Sedang apa wanita itu disana ? Sendirian dengan dua botol susu indomilk dan sebungkus coklat crunch ? Dia sedang menunggu seseorang kah? Atau sedang ingin menyendiri?"
Sedikit tidak nyaman, namun memang sendiri itu dibutuhkan.
Sendiri tanpa seorang adik yang menemani setiap saat.
Sendiri tanpa teman.
Hanya dengan sebuah keyboard dan hpnya yang setia dibawanya kemana-mana.
Sepertinya mereka adalah teman yang paling asyik untuk kesendirian ini.
Suara musik terdengar dari telinga sebelah kiri.
Lumayan membuat tenang namun tetap rasa tidak nyaman itu sedikit hadir dalam perasaan yang sekarang entah tak tahu apa yang dirasakan.
Melihat anak usia dibawah lima tahun dari balik kaca sedang bermain di atas motor yang mungkin saja milik ayahnya
Melihat dua orang wanita menggunakan cardigan kuning yang kembar dengan teman yang diboncengnya.
Melewati punggungku yang mungil itu.
Entah apa yang membuat pikirannya terupload di udara.
Uploadan yang cukup banyak untuk sore ini.
Adakah yang berniat mendownload isi pikirannya ?
Adakah yang akan menemukannya dan duduk berbincang bersama ditempat yang tersisa dua high chair ini?
Sepertinya tidak ada.
Ini tulisan tanpa tujuan untuk menghilangkan kebosanannya dengan suasana rumah yang begitu-begitu saja.
Tulisan yang membuatnya melarikan diri dari orang-orang yang mencampuri urusan pribadinya.
Ia ingin menengok namun ada rasa takut dengan prasangka.
Mungkin saja ada yang menganggap dirinya sedang mencari perhatian pada salah satu pramuniaga di toko itu.
Oh God, Please.
Aku hanya ingin ruang sendiri dalam menulis.
Tempat murah dan asyik untuk menenangkan pikiran.
Tempat dimana akses ke semua media sosial telah ditutupnya.
Tempat dimana ia ingin bercengkrama dengan hatinya.
Membicarakan apa yang harus ia lakukan.
Membahas apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi belakangan ini.
Membahas apa yang harus dilakukannya untuk merespon tentang orang-orang yang terlalu ikut campur dalam hidupnya.
Suasana begitu sepi....
Hening...
Sepertinya para pelanggan sedang sepi saat ini.
Namun mendadak pelanggan datang dengan ramainya melewati punggunya yang mungil sedikit membungkuk itu.
Ada beberapa staff pramuniaga yang tampak berdatangan untuk bekerja karena jam pergantian shiff mungkin saja tiba.
Oh ternyata beberapa staff mencari seorang ibu-ibu yang barangnya tertinggal.
Terlihat beberapa bayangan staff penjaga toko mengangkat beberapa kardus yang berisi barang-barang yang cukup berat.
Oohhh sepertinya stok barang dari gudang sudah datang.
Beberapa staff mengangkatnya untuk dirapikan di setiap rak-rak tempat makanan.
Oh ternyata berpuluh-puluh kotak minyak bimoli.
Mungkin saja ada diskon besar-besaran untuk menyambut idul adha besok hari senin.
Long weekend terasa sangat mengasyikkan.
Bagaimana tidak, untuk seorang pekerja kantoran sepertiku sangat menantikan liburan yang panjang ini.
Menyibukkan diri dirumah dengan segala macam riuh suara adik-adik yang membuat tawa tercipta di wajah bulatnya.

Angin AC menyentuh kulit seseorang wanita yang sedang duduk di high chair.
Satu botol susu indomilknya sudah habis diminumnya.
Apa yang akan kau lakukan jika dunia sudah tidak berpihak dengan orang sepertimu.
Detik demi detik yang terlewat sudah menjadi menit yang begitu berharga dengan kesendirianmu.
Menit kini sudah menjadi jam yang sudah menjadi menciptakan ribuan imajinasi yang akan siap di upload di udara.
Para pendownload yang sedang bernyusuri lapisan aspal yang masih bercahaya terkena sinar mentari yang sebentar lagi akan sangat indah jika dilihat orang sepasang kekasih yang menghabiskan waktu mereka di pesisir.

Aku ingin hujan hadir saat ini.
Menciptakan melodi indah yang mengalun di sela-sela kesendirian.
Tik...tik...
Rintiknya mampu membangunkan mata yang sudah lama terlelap.
Tik..tik..
Mampu membuat hati membuka pintu yang sudah lama tertutup.
Seperti pintu kaca yang dilewati oleh berpuluh-puluh pasang kaki.
Seperti salam yang diucapkan oleh wajah-wajah ramah yang selalu menyambutmu ketika pintu kaca itu terbuka.
Siapkah hatiku menjadi wajah ramah yang senantiasa menyambut hati para pejalan kaki yang mungkin saja kukenal?
Sudah diakhiri saja tulisan tak menentu arahnya ini.
Ini hanya pengisi kebosanan yang aku ingin jalani di sabtu sore yang penuh dengan pertanyaan ini.
Alunan musik india menemami sore di dalam alfamart pejanggik sore ini.
Oke .
Diakhiri saja saat ini sebelum pertanyaan menggumpal lalu teranyam di dalam otak orang-orang yang meilhatmu duduk sendirian di toko yang dipenuhi oleh para pramuniaga yang menyimpan tanya.


Saturday, September 3, 2016

Ocehan Pagi

Selamat!
Kau telah kembali memungut sisa-sisa debu yang telah kau sapu bersih pagi ini.
Kau telah mengotori hatimu dengan debu.
Kau gunakan debu itu untuk menulis nama seseorang dalam hatimu yang telah sekuat tenaga kau bersihkan saat itu.
Selamat!
Kau kembali menangis ketika memutar video tahun 2011 yang telah lama kau simpan dalam kotak berdebu itu.
Kotak yang kau simpan dalam kardus dipojok atas lemari pakaianmu.
Mengapa segampang itu kau mengeluarkan air mata untuk drama percintaan bodoh itu?
Ayolah!
Itu hanya kebohongan media.
Kebohongan media tentang dua anak manusia yang menjalin cinta lalu wanitanya tersakiti.
Tersakiti karena kepercayaannya telah dikhianati.
Kepercayaan yang membuatnya menjadi seorang wanita pemilih, karena ia tidak ingin lagi memberikan kepercayaan kepada lelaki yang dengan mudahnya mengatakan cinta kepadanya.
Itu kisah dua anak manusia yang melintasi pesisir pantai dan diterpa ombak ketika terik mentari menyentuh manja wajah mereka.
Kisah dua anak manusia yang saling bergandengan di dalam rumah hantu yang menyeramkan.
Kisah dua anak manusia yang saling berjabat tangan lalu memutuskan untuk berpisah untuk selamanya.

Friday, September 2, 2016

23:44, 2 September 2016

Ada saat dimana kau harus memintal kembali kenangan itu.
Kenangan yang sudah lama kerukut oleh waktu.
Kenangan yang kau intip dari balik layar kaca yang sudah rapuh itu.
Kenangan yang seharusnya sudah kau tukar dengan kebahagiaan.
Namun kau tidak bisa berbuat apa-apa.
Kau hanya pecinta bodoh yang masih enggan untuk membiarkannya krukut.
Kau meluruskan kembali, lalu kau pintal itu menjadi kenangan yang baru.
Tidakkah kau lelah wahai wanita?
Tidak kau merasa sepi setelah sekian tahun hatimu tak berpenghuni?
Tidakkah kau merasa jenuh setelah sekian tahun kau memintal kenangan yang sama?
Tidakkah?

23:44
2 september 2016
Efek baper AADC 2 (LAGI)