Aku kembali larut dalam kesendirian menikmati sore di Alfamart. Berbekal sekotak susu Ultra rasa cokelat dan sebungkus Good Time Chocolate chip yang begitu manis. Seperti biasanya, pintu kaca Alfamart membuka menutup karena ramai pengunjung sore itu. Salah satu pramuniaga yang ku kenal bernama mbak Ida menyapaku,
“ Mbak Ria tumben kesini lagi?”.“ Hehe, iya mbak!” Jawabku nyegir.Dia kembali menyusun Chitato yang ada di dalam kardus. Aku pun kembali larut dalam tulisan yang sedang ingin kuceritakan saat ini. Kembali menatap layar ponsel dan mengajak jari-jari menari diatas keyboard yang selalu menemani disaat ingin sendiri. Sesekali kulayangkan pandanganku ke balik kaca besar yang menjadi sekat di toko ini.Melihat aktivitas kota di hari Minggu yang tampak sepi ditemani aroma hujan yang masih begitu membekas menyentuh hidung para pemakai jalanan. Ada yang kebut-kebutan, ada yang pelan menikmati perjalanan, dan ada pula yang kebut-kebutan dan tidak tahu aturan. Jenuh mulai menghinggapiku. Aku melepas pandanganku dari layar ponsel. Memperhatikan ketegangan yang mbak Ida alami saat diprotes oleh seorang tante yang pulsanya tidak masuk. Seorang tante yang bibirnya begitu merah karena lipstiknya yang begitu tebal dan alis hitam seperti Shincan. Terlihat sangar dan menakutkan. Aku bisa merasakan bagaimana ketegangan yang mbak Ida hadapi saat berhadapan dengan ibu-ibu yang ucapannya sudah tidak terkontrol karena hal sepele. Begitulah resiko dalam melayani orang-orang yang memiliki sifat yang terkadang membuat kita harus memaku dengan kuat kesabaran diatas kepala.Kusedot perlahan susu Ultra yang sudah lama melihatku sibuk dengan memperhatikan dan bergosip dalam hati karena tante itu. Lalu kuambil sebiji chocolate chip cookies yang berjejer rapi di dalam bungkusnya. Tanpa sengaja aku memperhatikan biskuit cokelat yang kuambil. Mengingat bagaimana Ibu Ruth secara tidak sengaja menciptakannya. Begitu pula denganku yang secara tidak sengaja memberinya nama itu. Lewatkan dulu beberapa saat cerita tentangnya. Kembali dengan sejarah bagaimana chocolate chip cookies tercipta. Ibu Ruth adalah seorang ahli gizi lulusan Framingham State Normal School Department of Household Art. Nama lengkapnya Ruth Graves Wakefield, seorang pemilik penginapan di Amerika bernama Toll House. Saat itu ibu Ruth akan membuat hidangan untuk para pengunjung penginapannya, namun karena coklat bubuknya habis, Ibu Ruth mempunyai akal untuk memotong coklat batangan kecil-kecil lalu dicampur dengan adonan tepungnya. Bukannya meleleh menyatu dengan adonan, tapi hanya meleleh ditempatnya dan menimbulkan motif polkadot pada kue tersebut. Sejak itulah tercipta chocolate chip cookies yang aku nikmati saat ini.Seperti ketidaksengajaanku memberikannya nama itu. Cocholate chip cookies seperti lagu Adhitya Sofian yang berjudul ”Dear Soft-baked chocolate chip cookies”. Langit sudah berubah warna, itu berarti aku harus kembali ke rumah. Kurapikan barang-barangku yang tergeletak diatas meja besi. Menghabiskan dua buah biskuit cokelat yang tersisa. Menghidupkan paket data yang selama satu jam tujuh belas menit kumatikan. Beberapa grup Line masuk menyerbu dengan suara yang begitu berisik, broadcast bbm, dan tentunya pesan whatsapp manis, dari chocolate chip cookies yang begitu manis untuk hari yang manis walaupun pulang dengan perut meringis. Monday, November 28, 2016
Tuesday, September 13, 2016
ROSETTA
“Mengapa
kau enggan untuk keluar pada siang hari ?” Tanya Mascarpone pada gadis yang
sedang duduk di depannya.
“Aku
tidak suka melihat cara orang memandangku!” Jawab gadis berambut hitam sebahu
dengan celemek yang selalu menggantung di lehernya.
“Kau
cantik, Rosetta! Mengapa kau harus tidak suka pada mata-mata yang belum tentu
lebih baik darimu? Ayolah Rosetta, sesekali keluarlah, nikmati matahari dan
bunga-bunga yang ada di taman pelangi itu!”
“
TIDAK! Aku tidak ingin datang kesana lagi!!” Bentak Rosetta pada Mascarpone
seraya bangun dari tempat duduknya.
Rosetta
meninggalkan teman-temannya di atas meja. Mascarpone, Sugar, Flour, Egg, dan
semua teman yang membantunya menciptakan dessert setiap harinya. Rosetta,
wanita berusia dua puluh lima tahun dengan rambut berwarna hitam sebahu yang
selalu diikatnya. Wanita yang selalu menggantungkan celemek di lehernya. Sudah
lima tahun terakhir ini Rosetta tinggal di bangunan reot di samping Pabrik
tepung. Itu adalah sepetak bangunan peninggalan orangtuanya. Rosetta menganggap
bangunannya itu adalah sebuah dapur bernilai satu milyar,. Dapur itu terlihat
kumuh. Dapur dengan tembok bata dan pintu kayu rapuh yang sudah dimakan rayap.
Orang-orang yang melintas mungkin enggan untuk mendekat. Mereka menganggap
bangunan itu tak berpenghuni, karena sekalipun pemiliknya tidak pernah keluar
pada siang hari. Namun aroma-aroma kue dan masakan sering tercium oleh
hidung-hidung para pemakai jalan.
Suara
mixer berbunyi, Sugar, Flour, Egg, Mascarpone, Milk, Unsalted butter berkolaborasi
menjadi satu. Masuk ke dalam kotak kaca yang bersuhu dibawah 0°. Tiga jam
kemudian mereka keluar lalu menciptakan kolaborasi indah dipuncak ketika
Strawberry tiba-tiba mendatangi mereka. Terciptalah dessert yang pertama kali
dibuat oleh bangsa Yunani Kuno yang dulunya disajikan untuk para atlet ajang
olimpiade yang pertama digelar. Cheese cake, nama dessert yang akan dibawa
Rosetta malam itu. Bukan untuk disajikan kepada para atlet, namun untuk dibawa
ke toko kue di sebrang jalan dekat dengan dapur kumuhnya.
“Rosetta,
jangan lupa syalmu!” Kata Flour mengingatkan.
“
Topimu juga!” Sambung Egg.
“
Baik, terima kasih teman-teman manisku !” Jawab Rosetta.
“
Tersenyumlah! Tidakkah kau ingin meninggalkan senyuman manismu pada kami
sebelum kau berangkat ke toko bibi Vidia?”
Terlihat
wajah mungil dengan hidung mancung dan mata bening membentuk garis senyum dari
bibir mungilnya.
“Hati-hati
Rosetta!” Kompak Flour, Egg, dan Sugar.
Rosetta
mengangguk lalu keluar dari dapur satu milyarnya. Langkahnya rapuh, berjalan
menunduk seperti takut pada dunia. Hawa dingin
yang meresap masuk ke dalam tubuh Rosetta.Ditelusurinya jalanan yang dipenuhi
kubangan air. Dengan wajah yang dipenuhi
debu tepung dan senyum yang tercipta dari bibir merah mudanya Ia mengatakan
"Tidak apa-apa"
Dihitungnya langkah demi langkah, setitik air jatuh di tangan
mungilnya.
"Seperti inikah takdir, Ia akan jatuh tepat di
genggamanmu?"
Ditelusurinya hati yang tadi terancang rapi lalu tiba-tiba
menjadi tak menentu ujungnya seperti labirin yang membuat manusia sulit
menemukan jalan keluar. Jalanan kota saat itu begitu sepi. Ada sepotong kisah yang dikhawatirkannya layaknya sisa
potongan roti yang hilang sedangkan Ia akan membaginya pada teman-teman yang
tinggal bersamanya. Ada resah yang tertinggal dalam ujung otaknya. Resah yang membuat matahari pagi terasa lebih panas
daripada goresan besi panas yang menguliti telapak tangannya. Adakah celah untuk kenyamanan hadir diantara keresahan
itu? Sepertinya terlalu kecil seperti lubang semut yang tak tampak ketika kau
tidak menatapnya lebih dekat. Suara angin malam seperti kawanan anak
kecil yang bermain riang terdengar seperti menertawakan wanita dengan jaket
tebal, bertopi cupluk dengan syal dilehernya itu. Toko tempatnya mengantarkan
Cheesecake sudah terlihat dari sebrang jalan. Perlahan kakinya melewati garis
hitam-putih dijalan sambil menghitungnya.
“Satu,
dua, tiga, emp….” Langkahnya terhenti.
Dua
pasang kaki besar dengan sepatu pantofel coklat tepat didepan matanya.
Diangkatnya pandangannya untuk melihat pemilik kaki tersebut. Matanya
terbelalak, berkaca lalu badannya bergerak menghindar mengacuhkan pemilik kaki tersebut,
lalu melanjutkan perjalanan dengan langkah cepat menuju toko bibi Vidia.
“Selamat
malam Bibi Vidia!” Sapa Rosetta dengan suara bergetar seperti akan menangis.
“Mengapa
suaramu seperti itu gadis kecilku? Kau kedinginan?” Tanya Bibi Vidia dengan
lembutnya.
Rosetta
meletakkan Cheesecake itu kedalam cakestation lalu berjalan kearah bibi Vidia
dan langsung memeluk erat bibi Vidia. Bibi Vidia adalah sahabat ibu Rosetta
sejak kecil. Sejak ibu Rosetta meninggal, bibi Vidia adalah satu-satunya yang
dianggap Keluarga oleh Rosetta. Badan besar bibi Vidia mampu membuat tubuh
mungil Rosetta nyaman.
“Kau
kenapa? Ceritalah, bibi akan mendengarkanmu!”
“Aku
bertemu orang itu lagi! Aku takut!”
“Apa
yang ia katakan?”
Rosetta
menggeleng.
“Jangan
takut, dia tidak akan menyakitimu! Pulanglah, mandi dengan air hangat, lalu
tidurlah! Lihat wajahmu, penuh dengan sisa debu tepung yang menempel! Bagaimana
kau akan bertemu dengan laki-laki nantinya jika kau terus seperti ini?” Kata
Bibi Vidia seraya menghapus air mata Rosetta.
Rosetta
tersenyum kecil.
“Laki-laki
tidak akan berani mendekati wanita dengan debu tepung di wajahnya! Dan
sepertinya aku tidak butuh mereka. Mereka hanya suka pada wanita dengan bedak
tebal dan lipstik warna-warni di bibirnya.”
“Tidak
semua seperti itu, suatu saat kau akan bertemu dengan seseorang yang akan
mengusap debu tepung itu dari wajahmu!”
“Tidak,
Bibi! Tidak ada yang seperti itu! Ayah saja belum pernah mengusap debu tepung
ini dari wajahku. Bibi aku pamit!”
Rosetta
meninggalkan bibi Vidia dan langsung pulang kerumah. Saat Ia pergi, seorang
laki-laki memasuki toko kue bibi Vidia.
“Selamat
malam, Vidia!” Sapa laki-laki bermantel hitam dengan menggunakan sepatu
pantofel coklat.
Bibi
Vidia seperti sudah terbiasa dengan kedatangan laki-laki itu setiap malam.
“Tidakkah
kau begitu kejam pada anakmu?” Ucap Bibi Vidia dengan nada marah.
“Aku
menunggunya, aku selalu memperhatikannya setiap malam ketika dia mengantarkan
kue ke tokomu, tapi dia selalu menghindar dariku!”
“Bagaimana
dia tidak menghindar darimu, Kau selalu terdiam ketika bertemu dengannya! Itu
membuatnya takut! Tidakkah kau merasa sedih ketika anakmu sendiri takut
padamu?”
“Apa
yang harus aku lakukan? Haruskah aku membawanya ke psikiater?”
“Beraninya
kau menganggap anakmu gila!! Lebih baik kau pulang saja kerumah istanamu
bersama dengan wanita itu!!!! Dia anakku, bukan anakmu! ” Kata Bibi Vidia
dengan marahnya.
“Kau
tidak pernah mendengar apa yang dikatakan orang-orang tentang Rosetta!
Orang-orang menganggapnya gadis gila yang sering berbicara sendiri dan tertawa
sendiri di dalam bangunan reot itu! AKU! Aku sering melihatnya dari jendela
depan yang tertutup oleh tumpukan debu! Dia berbicara dengan bahan-bahan kue,
bermain tanpa teman, tertawa tanpa teman, menurutmu apa lagi yang harus aku
lakukan untuk menyelamatkan anakku kalau bukan membawanya ke psikiater?!!”
Kata-kata
laki-laki itu membuat Bibi Vidia sangat marah. Bibi Vidia tetap mengusir
laki-laki itu dari tokonya. Laki-laki itu pun pergi jauh, menghilang ditelan
oleh gelapnya malam.
Terik
matahari pagi menerobos masuk ke celah-celah ventilasi dapur Rosetta. Rosetta
berdiri di bawah ventilasi untuk menikmati terik mentari yang menyentuh kulit
wajahnya. Hari itu, pertama kalinya Rosetta akan keluar pada siang hari setelah
lima tahun terakhir. Dia akan ke rumah sakit mengunjungi bibi Vidia yang
dirawat karena terjatuh di kamar mandi. Dengan menggunakan dress round neck
lengan pendek berwarna putih dengan flower border tassel patchwork longgar dan
sepatu sneakers putih, ia berjalan menyusuri jalanan kota yang begitu panas
hari itu dengan membawa sekotak blackforest coklat kesukaan bibi Vidia. Rumah
sakit itu tampak ramai. Rosetta memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumah
sakit itu. Ia bertanya pada satpam dimana ruangan tempat bibi Vidia dirawat.
“
Selamat siang bibi Vidia!” Sapa Rosetta saat memasuki kamar tempat bibi Vidia
di rawat.
“
Aneh sekali rasanya! Biasanya kau hanya mengucapkan selamat malam padaku, ini
pertama kalinya aku mendengar kau mengucapkan selamat siang. Sini mendekatlah,
aku ingin memelukmu!”
Rosetta
mendekati tempat tidur bibi Vidia lalu menghamburkan pelukan hangat untuk bibi
Vidia.
“Apa
yang membuat gadis kecilku berani keluar di siang hari seperti ini? Apa kau
ditemani oleh lelaki tampan yang mau mengusap debu tepung di wajahmu? Wah,
bajumu indah sekali!”
“Tidak,
Bi! Aku ditemani oleh teman-temanku.”
Bibi
Vidia mengangguk sekaligus kebingungan mendengar pertanyaan Rosetta.
“Masuklah,
bibi Vidia ingin berkenalan dengan kalian. Kenalkan, ini bibiku, Vidia. Bibi,
ini Flour, Egg, Mascarpone dan Sugar. Aku tinggal bersama mereka di dapur satu
milyarku.”
Bibi
Vidia mengangguk dan segera memeluk Rosetta erat. Rosetta kebingungan melihat
bibi Vidia seperti itu. Ini pertama kalinya bibi Vidia melihat keanehan yang
terjadi pada Rosetta.
“Kenapa
kau menangis, bibi?”
“Tidak,
aku hanya bahagia masih bisa melihatmu tumbuh menjadi seorang wanita cantik
seperti saat ini. Bisakah kau membelikan bibi jus apel di loby? Bibi ingin
sekali meminum jus itu!”
“Baiklah,
aku pergi dulu ya! Bibi akan dijaga oleh teman-temanku!”
Rosetta
berjalan menuruni puluhan anak tangga. Aroma rumah sakit yang khas seperti
aroma tempat dimana ibunya meninggalkannya pergi. Ketidaknyaman menghinggapi
perasaannya yang dipenuhi luka disetiap sudutnya. Ia masih seperti gadis kecil
yang tidak tahu apa-apa tentang dunia. Yang Rosetta tahu hanyalah bibi Vidia,
selebihnya dia tidak memiliki teman. Teman-temannya tidak pernah menghubunginya
lagi sejak lima tahun yang lalu. Rosetta seorang introvert. Dia tidak memiliki
teman akrab atau sahabat. Ibunya meninggal sejak usianya dua puluh tahun, lalu
ayahnya pergi dan meninggalkannya tepat sehari setelah pemakaman ibunya. Ia
ditinggalkan di bangunan reot dan kumuh disamping Pabrik tepung. Bangunan itu
pernah akan dibeli oleh Pabrik tepung tersebut, namun Rosetta menolaknya. Ia
akan menjual dapurnya itu jika ada yang berani membayar satu milyar. Namun
idenya itu membuatnya dianggap gila oleh orang-orang disekitarnya. Karena itu
Ia tidak pernah keluar di siang hari, ia tidak suka melihat tatapan orang-orang
saat melihatnya. Ia tak suka dianggap gila oleh orang-orang.
Di
kamar, bibi Vidia merogoh handphone dari kantongnya lalu menguhubungi
seseorang.
“Halo,
Judy! Kemarilah, dia ada disini bersamaku! Aku akan memberikanmu kesempatan
satu kali saja!”
Bibi
Vidia meletakkan handphone tersebut di meja dekat tempat tidurnya lalu
membaringkan diri. Rosetta yang masih di lobby masih terpaku berdiri di depan
seorang laki-laki bersepatu pantofel coklat. Rosetta terjatuh tak sadarkan
diri.
****
Taman
pelangi yang terletak di samping rumah sakit tempat ibu Rosetta di rawat adalah
taman favorit Rosetta. Setiap pagi ia selalu menikmati terik matahari yang selalu
tidak sopan menyentuh wajah mungilnya, menggelitik perutnya hingga tawa menjadi
cerita di dalam taman pelangi itu. Ayahnya selalu menemaninya menikmati pagi di
kursi taman yang terbuat dari kayu itu. Tawa menjadi kisah pertama yang Rosetta
tulis di kursi taman tersebut. Lalu tangis menjadi kisah kedua yang ditulisnya
saat ibunya meninggal, dan luka menjadi kisah terakhir yang ditulisnya saat
melihat ayahnya pergi meninggalkannya.
“Rosetta,
Rosetta, Rosettaa!” Panggil seorang wanita menggunakan dress fair Valentino
berlipit motif patchwork dan berjas putih.
Rosetta
terbangun. Ia masih belum sadarkan diri sepenuhnya. Ruangan putih dengan tempat
tidur pasien yang disampingnya terdapat meja kecil tempat lampu tidur berdiri
masih membuatnya bingung. Terik matahari yang muncul ketika wanita itu membuka
jendela kamarnya membuatnya merasakan perasaan sakit yang Ia sendiri tak tahu
apa alasannya. Rasa sakit karena sebuah perpisahan yang menyenangkan yang pada
akhirnya tidak berarti apa-apa. Jika ia tahu, ia akan menangisi semuanya
kemudian mengeluarkan semuanya.
“Selamat
pagi Rosetta!” Sapa wanita itu.
“Selamat
pagi, Dokter Jane!” Jawab Rosetta.
“Sudah
siap untuk obrolan hari ini?”
Rosetta
mengangguk. Ia turun dari tempat tidurnya. Wanita berwajah mungil dengan mata
sembab menjadi kisah di hidup wanita berusia dua puluh lima tahun ini.
Langkahnya rapuh, angin mungkin saja akan membuatnya terjatuh dengan
hembusannya. Dingin mungkin saja akan membuat tubuhnya terluka jika tidak
terlindungi oleh mantel hangatnya. Hujan akan menyakitinya jika payung sudah
tidak bisa lagi menjadi pelindung. Tubuh mungilnya terlihat cantik menggunakan
dress round neck lengan pendek berwarna putih dengan flower border tassel
patchwork longgar walaupun tanpa menggunakan alas kaki. Rambut hitamnya
tergerai menutupi punggung rapuhnya. Ia duduk di depan dokter Jane.
“
Oke Rosetta, apa kabar hari ini?” Tanya dokter Jane memulai pembicaraan.
“Baik!”
“
Belakangan ini, seberapa sering kamu bermimpi?”
Rosetta
menunduk sambil tersenyum pendek.
“atau
ada tempat yang membuatmu tidak nyaman?” sambung dokter Jane.
“Suatu
hari tiba-tiba aku merasa aneh. Tubuhku terasa aneh. Seperti itu bukan aku. Dokter
Jane, tidakkah kau merasa cuaca hari ini sangat aneh?”
“Apa
maksudmu? Mengapa cuaca hari ini sangat aneh?”
“Entahlah,
cuaca ini membuatku merasakan ada seseorang yang akan datang dan melihatku.”
“Siapa?
Apakah kamu berfikir itu akan terjadi?”
Rosetta
terdiam. Mengingat saat dimana suara langkah kaki mendekati kamarnya. Seorang
laki-laki bermantel hitam dan bersepatu pantofel coklat berdiri di depan pintu
kamarnya. Ia sedang tertidur dengan posisi telungkup dengan kepala menghadap
pintu. Ketika Ia melihat laki-laki itu berdiri, Ia segera membalikkan posisi
kepalanya agar Ia tidak melihat laki-laki itu datang.
“Rosetta,
ayahmu sudah meninggal, benarkah?” Sambung dokter Jane membuyarkan lamunan
Rosetta.
Rosetta
menunduk tampak berfikir. Pertanyaan dokter Jane tidak dijawab langsung
olehnya. Lagi-lagi ia mengingat saat ia berjalan di taman pelangi, laki-laki
bermantel hitam itu mengikutinya dari belakang. Rasa takut kemudian
menghampirinya. Dengan kaki telanjang tak bersepatu ia berlari kembali ke
kamarnya. Nafasnya terengah-engah saat tiba di pintu kamarnya kemudian mendadak
nafasnya berhenti saat sebuah tangan besar menyentuh pundaknya. Rosetta tampak
terkejut.
“Kenapa
Rosetta? Apa yang sedang kau fikirkan? Kau belum menjawab pertanyaanku, ayahmu
sudah meninggal bukan?”
“Dia
datang kembali, semua orang berfikir dia adalah ayahku, tapi orang itu bukan
ayahku!”
Mata
Rosetta menatap dokter Jane yang sedang terlihat mengisi beberapa catatan.
Rosetta kembali larut dalam lamunannya. Lamunan yang membuatnya menjadi
menangis histeris yang membuat dokter Jane terkejut.
***
ANJING KAMPUNG
Malam itu aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit.
Menikmati aroma alkohol dan obat-obatan.
Mendengar suara tangis bayi dari ruang NICU.
Mendengar suara ventilator dari ruang ICU.
Mendengar suara nafas para pemilik paru-paru yang sedang
terbaring lemah di tempat itu.
Mengapa terasa pengap?
Aku keluar dari tempat itu.
Menikmati angin malam yang begitu dingin.
Angin malam yang menyakiti hatiku begitu dalam.
Aku lelah.
Aku duduk di kursi taman rumah sakit.
Taman dimana aku bisa mendengar nafas pohon yang sekarang
sedang memperhatikanku.
Hai bunga pukul Sembilan yang malam ini sedang tertidur
pulas,
Bolehkah aku mengganggumu dengan tangisan yang akan
membuat riuh rumahmu ini?
Aku mengangkat pandanganku, melihat seorang perempuan
yang persis sama sepertiku.
Ada apa dengan perempuan yang duduk di bawah lampu
jalanan itu ?
Rambutnya terikat rapi dengan tali berbulu berwarna merah
jambu.
Sepertinya sweater putihnya tak sanggup melindungi tubuhnya dari
hawa malam ini.
Tangannya memegang patahan ranting, menari-menari
menciptakan lukisan abstrak di atas tanah.
Rintikan air terjatuh dari kedua sudut matanya.
Apa yang membuatnya menangis?
Aku beranjak duduk di depannya.
“Apa yang membuatmu menangis?” Tanyaku pada perempuan
yang terlihat seperti kembaranku.
Dia mengangkat wajahnya, melihatku dengan tatapan yang
begitu dalam.
“Siapa lagi yang harus kau percayai saat ini ketika
seseorang yang paling kau percaya mengkhianatimu?”
Aku terdiam.
Seperti pertanyaan yang langsung menusuk ujung jantungku.
“Masihkah kau bisa mempercayai seseorang setelah apa yang
terjadi padamu saat ini?”
Pertanyaan itu menggema di telingaku.
Dingin. Dingin sekali.
Aku berdiri.
Dia pun berdiri.
Mengikuti kemana aku pergi.
Tiba-tiba Ia berhenti di depan sebuah kamar Irna 1B.
Dia memanggilku.
“Lihat, apa yang kau lakukan jika melihat orang yang kau
sayang tersakiti oleh orang yang kau percaya untuk menjagamu? Masih merasa
amankah kau hidup di dunia jika tidak ada yang kau percaya untuk menjagamu?”
Dia menunjuk seorang wanita yang terlihat seperti ibuku
menangis di bawah jendela kamar tempat ayahku dirawat.
“Apa yang akan kau lakukan jika ada suara anjing yang
menganggu kenyamanan tidurmu saat malam hari?”
Aku terdiam.
“Bukan hanya tidurmu saja, anjing itu menghampirimu lalu
mengendus-ngendus ingin diberi makan oleh ayahmu. Lalu menggonggong kearah
ibumu dan akan menggigit ibumu ketika ibumu melihatnya bermanja-manja dengan
ayahmu. Tidakkah kau ingin memberi tusukan pisau paling tajam di dunia untuk
anjing itu? Memotong lidahnya yang menjilat-jilati ayahmu, menjambak bulunya
yang mengotori sofa dirumah, dan menyiram wajah lucunya yang terlihat
menyedihkan dengan air raksa . Bukankah itu tindakan paling tepat untuk membuat
anjing itu keluar dari rumahmu?”
Aku terpaku.
Terdiam.
Mulutku tak bisa terbuka. Seperti ada lem kuat yang sudah
diciptakan air liur untuk menutup mulutku.
Air mataku mengalir seperti kran air yang sedang bocor.
Dering dari telepon genggamku berbunyi.
Ada satu panggilan telepon.
“Halo!”
Terdengar suara gonggongan anjing yang terdengar seperti
mengkhawatirkan keadaan ayahku.
Suara gonggongan anjing yang ingin tahu keberadaanku.
Suara gonggongan anjing yang ingin bertemu denganku.
Suara gonggongan anjing yang mencoba menenangkanku.
Suara gonggongan anjing kampung yang mencoba menjadi anjing
kota.
Suara gonggongan anjing yang mencoba menjadi anjing yang
baik dan lucu.
“Bukankah semanis-manisnya anjing dia akan tetap menjadi
anjing yang suatu saat akan menggigitmu?”
Suara perempuan yang tadi kutemui di bawah lampu jalanan
masih terdengar jelas.
“Sebersih-bersihnya anjing dia akan meninggalkan kotoran
di sofa putihmu?”
Aku langsung menutup telepon itu.
Lututku terasa lemas hingga tak mampu berdiri.
Bahkan perempuan yang bersamaku tadi tidak punya cukup
tenaga untuk membantuku berdiri.
Aku berpegangan pada dinding yang membantuku berdiri saat
itu.
Dinding itu menggenggam tanganku dan membantuku berjalan
menyusuri koridor rumah sakit.
Dia melepas genggamannya saat aku berada di sebrang
jalanan di depan taman rumah sakit.
Aku jatuh terkulai lemas di bawah lampu jalanan malam
itu.
Lampu jalanan yang mampu memberiku cahaya dikala gelapnya
malam menghalangi langkahku.
Sesaat kemudian aku terbangun dan duduk tepat dibawah
cahaya bola lampu jalanan itu.
Ranting-ranting pohon yang sudah kering berhamburan di
sekelilingku.
Aku mengambil satu ranting lalu mematahkannya menjadi
dua.
Aku mencoba menyambungkannya lagi, tapi tidak bisa.
Sekeras apapun usahaku, ranting itu tak akan kembali utuh
seperti semula.
Dia hanya ranting, ranting terjatuh dari pohon tempatnya
hidup selama ini, lalu tersapu oleh kumpulan kayu tipis dan dibakar oleh batang
kayu yang dilapisi fosfor.
Tiba-tiba aku mendapati kaki seseorang berhenti tepat di
depanku.
Aku mengangkat wajahku.
Seorang perempuan yang terlihat seperti aku.
“Lihat ke arah gerbang rumah sakit!” Katanya tiba-tiba.
Aku menoleh.
Disana ada seekor anjing berbulu putih bersih dengan mata
yang bersinar tajam berjalan akan memasuki pintu rumah sakit.
Air mataku menetes.
Tanganku meremas habis sisa potongan ranting tadi.
“Apakah kau akan diam saja menangis dan tidak berguna
seperti ini?”
“TIDAK!” Kali ini aku menjawab pertanyaan perempuan itu.
Aku bangkit dan mengambil potongan ranting yang lebih
besar dari yang kupatahkan tadi.
Aku berlari ke arah dimana anjing itu berada.
Dia menatapku dengan tatapan tajamnya, seakan akan
menggonggong dan menggigitku.
Namun dengan langkah kecil dia menghampiriku dan
menjilat-jilati lidahnya di kakiku.
“Tidakkah kau paham bahwa air liurmu adalah air liur
ternajis yang pernah menyentuh kakiku? Oh iya, aku sampai lupa bahwa kau adalah
seekor anjing betina yang tak memiliki otak, tak memiliki perasaan dan hanya
bisa menggonggong kesana kemari meminta makan pada majikan yang memakai sepatu
pantofel hitam.Hh.”
Dia terus menjilati kakiku.
“Apa tujuanmu menggonggong ibuku saat ia melihatmu?
Tidakkah kau takut seseorang akan mengambil anakmu yang kau tinggalkan sendiri
dikandang usangmu itu? Bisakah kau hanya merawat anakmu bukan berkeliaran
kesana kemari bersolek seperti wanita malam? Tidak!Tidak! Aku salah lagi, kau
bukan manusia! Kau hanya seekor anjing betina! PERGI! JANGAN PERNAH DATANGI
RUMAHKU LAGI!”
Aku menjadi geram.
Emosiku memuncak.
“Sebelum aku memukulmu menggunakan kayu ini, bisakah kau
pergi jauh dariku saat ini juga?”
Anjing itu tampak takut. Suara gonggongan seperti malam
bulan purnama terdengar dari anjing itu.
“Maaf aku hanya manusia yang tak mengerti bagaimana
bahasa binatang. Pergilah! Selagi aku masih menjadi anak gadis manis yang
memintamu pergi baik-baik. Atau apakah kau mau aku membuatmu berdarah dengan
menghilangkan satu bola matamu yang bening dan cantik itu? Atau mungkin saja
kau mau lidahmu hilang agar kau tak mampu lagi menikmati rasa manis sedikitpun?
Atau bisa saja mulutmu kujahit hingga kau hanya bisa mengerang menggunakan
tenggorokanmu? PERGILAH SELAGI AKU MASIH MEMINTAMU BAIK-BAIK!”
Hhhhhh-
Aku mengeluarkan semuanya malam itu.
Sepertinya anjing itu takut mendengar ancamanku.
Aku melihatnya pergi kearah jalanan yang begitu sepi
malam itu.
Mataku masih memerah memperhatikan langkahnya yang
bersolek seperti wanita penghibur.
Tidak! Tidak!
Dia seekor anjing betina, bukan seorang manusia.
Aku berbalik arah, kembali berjalan lemah ke tempat
dimana aku bisa menemukan cahaya.
Disana, aku melihat perempuan itu melambaikan tangannya
padaku.
Aku duduk disampingnya. Dibawah lampu jalanan yang
cahayanya masih kuat bersinar malam itu.
Tiba-tiba dia memelukku lalu menyatu kedalam tubuhku.
Tanganku masih menggenggam erat potongan ranting kayu
itu.
Kuat. Erat.
Tanpa aku sadari ranting itu marah padaku, Ia melukaiku.
Melukai tanganku.
Tik.Tik.Tik.
Cairan merah yang mengalir dari tanganku itu terjatuh di
daun-daun yang gugur dekat dengan ranting-ranting yang berhamburan.
Tanganku terluka.
Mengapa yang terasa perih hatiku?
Kugenggam ranting itu lebih erat.
Cairan itu semakin banyak. Sekarang terasa perih. Sakit.
Aku membuang ranting itu.
Bahkan ranting yang tak bernyawapun bisa melukaiku.
Ranting yang akan kugunakan untuk memukul anjing betina
yang kini perlahan hilang ditelan oleh gelapnya malam.
OKTOBER, 2014.
Suatu Malam Yang Dingin.
Saturday, September 10, 2016
Kebosanan yang diciptakan Sabtu di Alfamart
Sepasang kaki dengan sneaker putih memasuki pintu kaca.
Ingin menyendiri dengan para penjaga toko pemilik pintu kaca itu.
Ingin lari dari kebisingan dunia yang belakangan ini terlalu mencampuri hidupnya.
Duduk di high chair di balik kaca besar yang menembus langsung ke jalanan kota.
Melihat aktivitas sore kota yang begitu ramai.
Matahari tampak sudah perlahan turun di ufuk barat.
Sinarnya menyilaukan mata para pemakai kendaraan yang akan menyusuri arah barat.
Merasakan tatapan beberapa pasang mata yang mungkin bertanya-tanya " Sedang apa wanita itu disana ? Sendirian dengan dua botol susu indomilk dan sebungkus coklat crunch ? Dia sedang menunggu seseorang kah? Atau sedang ingin menyendiri?"
Sedikit tidak nyaman, namun memang sendiri itu dibutuhkan.
Sendiri tanpa seorang adik yang menemani setiap saat.
Sendiri tanpa teman.
Hanya dengan sebuah keyboard dan hpnya yang setia dibawanya kemana-mana.
Sepertinya mereka adalah teman yang paling asyik untuk kesendirian ini.
Suara musik terdengar dari telinga sebelah kiri.
Lumayan membuat tenang namun tetap rasa tidak nyaman itu sedikit hadir dalam perasaan yang sekarang entah tak tahu apa yang dirasakan.
Melihat anak usia dibawah lima tahun dari balik kaca sedang bermain di atas motor yang mungkin saja milik ayahnya
Melihat dua orang wanita menggunakan cardigan kuning yang kembar dengan teman yang diboncengnya.
Melewati punggungku yang mungil itu.
Entah apa yang membuat pikirannya terupload di udara.
Uploadan yang cukup banyak untuk sore ini.
Adakah yang berniat mendownload isi pikirannya ?
Adakah yang akan menemukannya dan duduk berbincang bersama ditempat yang tersisa dua high chair ini?
Sepertinya tidak ada.
Ini tulisan tanpa tujuan untuk menghilangkan kebosanannya dengan suasana rumah yang begitu-begitu saja.
Tulisan yang membuatnya melarikan diri dari orang-orang yang mencampuri urusan pribadinya.
Ia ingin menengok namun ada rasa takut dengan prasangka.
Mungkin saja ada yang menganggap dirinya sedang mencari perhatian pada salah satu pramuniaga di toko itu.
Oh God, Please.
Aku hanya ingin ruang sendiri dalam menulis.
Tempat murah dan asyik untuk menenangkan pikiran.
Tempat dimana akses ke semua media sosial telah ditutupnya.
Tempat dimana ia ingin bercengkrama dengan hatinya.
Membicarakan apa yang harus ia lakukan.
Membahas apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi belakangan ini.
Membahas apa yang harus dilakukannya untuk merespon tentang orang-orang yang terlalu ikut campur dalam hidupnya.
Suasana begitu sepi....
Hening...
Sepertinya para pelanggan sedang sepi saat ini.
Namun mendadak pelanggan datang dengan ramainya melewati punggunya yang mungil sedikit membungkuk itu.
Ada beberapa staff pramuniaga yang tampak berdatangan untuk bekerja karena jam pergantian shiff mungkin saja tiba.
Oh ternyata beberapa staff mencari seorang ibu-ibu yang barangnya tertinggal.
Terlihat beberapa bayangan staff penjaga toko mengangkat beberapa kardus yang berisi barang-barang yang cukup berat.
Oohhh sepertinya stok barang dari gudang sudah datang.
Beberapa staff mengangkatnya untuk dirapikan di setiap rak-rak tempat makanan.
Oh ternyata berpuluh-puluh kotak minyak bimoli.
Mungkin saja ada diskon besar-besaran untuk menyambut idul adha besok hari senin.
Long weekend terasa sangat mengasyikkan.
Bagaimana tidak, untuk seorang pekerja kantoran sepertiku sangat menantikan liburan yang panjang ini.
Menyibukkan diri dirumah dengan segala macam riuh suara adik-adik yang membuat tawa tercipta di wajah bulatnya.
Angin AC menyentuh kulit seseorang wanita yang sedang duduk di high chair.
Satu botol susu indomilknya sudah habis diminumnya.
Apa yang akan kau lakukan jika dunia sudah tidak berpihak dengan orang sepertimu.
Detik demi detik yang terlewat sudah menjadi menit yang begitu berharga dengan kesendirianmu.
Menit kini sudah menjadi jam yang sudah menjadi menciptakan ribuan imajinasi yang akan siap di upload di udara.
Para pendownload yang sedang bernyusuri lapisan aspal yang masih bercahaya terkena sinar mentari yang sebentar lagi akan sangat indah jika dilihat orang sepasang kekasih yang menghabiskan waktu mereka di pesisir.
Aku ingin hujan hadir saat ini.
Menciptakan melodi indah yang mengalun di sela-sela kesendirian.
Tik...tik...
Rintiknya mampu membangunkan mata yang sudah lama terlelap.
Tik..tik..
Mampu membuat hati membuka pintu yang sudah lama tertutup.
Seperti pintu kaca yang dilewati oleh berpuluh-puluh pasang kaki.
Seperti salam yang diucapkan oleh wajah-wajah ramah yang selalu menyambutmu ketika pintu kaca itu terbuka.
Siapkah hatiku menjadi wajah ramah yang senantiasa menyambut hati para pejalan kaki yang mungkin saja kukenal?
Sudah diakhiri saja tulisan tak menentu arahnya ini.
Ini hanya pengisi kebosanan yang aku ingin jalani di sabtu sore yang penuh dengan pertanyaan ini.
Alunan musik india menemami sore di dalam alfamart pejanggik sore ini.
Oke .
Diakhiri saja saat ini sebelum pertanyaan menggumpal lalu teranyam di dalam otak orang-orang yang meilhatmu duduk sendirian di toko yang dipenuhi oleh para pramuniaga yang menyimpan tanya.
Ingin menyendiri dengan para penjaga toko pemilik pintu kaca itu.
Ingin lari dari kebisingan dunia yang belakangan ini terlalu mencampuri hidupnya.
Duduk di high chair di balik kaca besar yang menembus langsung ke jalanan kota.
Melihat aktivitas sore kota yang begitu ramai.
Matahari tampak sudah perlahan turun di ufuk barat.
Sinarnya menyilaukan mata para pemakai kendaraan yang akan menyusuri arah barat.
Merasakan tatapan beberapa pasang mata yang mungkin bertanya-tanya " Sedang apa wanita itu disana ? Sendirian dengan dua botol susu indomilk dan sebungkus coklat crunch ? Dia sedang menunggu seseorang kah? Atau sedang ingin menyendiri?"
Sedikit tidak nyaman, namun memang sendiri itu dibutuhkan.
Sendiri tanpa seorang adik yang menemani setiap saat.
Sendiri tanpa teman.
Hanya dengan sebuah keyboard dan hpnya yang setia dibawanya kemana-mana.
Sepertinya mereka adalah teman yang paling asyik untuk kesendirian ini.
Suara musik terdengar dari telinga sebelah kiri.
Lumayan membuat tenang namun tetap rasa tidak nyaman itu sedikit hadir dalam perasaan yang sekarang entah tak tahu apa yang dirasakan.
Melihat anak usia dibawah lima tahun dari balik kaca sedang bermain di atas motor yang mungkin saja milik ayahnya
Melihat dua orang wanita menggunakan cardigan kuning yang kembar dengan teman yang diboncengnya.
Melewati punggungku yang mungil itu.
Entah apa yang membuat pikirannya terupload di udara.
Uploadan yang cukup banyak untuk sore ini.
Adakah yang berniat mendownload isi pikirannya ?
Adakah yang akan menemukannya dan duduk berbincang bersama ditempat yang tersisa dua high chair ini?
Sepertinya tidak ada.
Ini tulisan tanpa tujuan untuk menghilangkan kebosanannya dengan suasana rumah yang begitu-begitu saja.
Tulisan yang membuatnya melarikan diri dari orang-orang yang mencampuri urusan pribadinya.
Ia ingin menengok namun ada rasa takut dengan prasangka.
Mungkin saja ada yang menganggap dirinya sedang mencari perhatian pada salah satu pramuniaga di toko itu.
Oh God, Please.
Aku hanya ingin ruang sendiri dalam menulis.
Tempat murah dan asyik untuk menenangkan pikiran.
Tempat dimana akses ke semua media sosial telah ditutupnya.
Tempat dimana ia ingin bercengkrama dengan hatinya.
Membicarakan apa yang harus ia lakukan.
Membahas apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi belakangan ini.
Membahas apa yang harus dilakukannya untuk merespon tentang orang-orang yang terlalu ikut campur dalam hidupnya.
Suasana begitu sepi....
Hening...
Sepertinya para pelanggan sedang sepi saat ini.
Namun mendadak pelanggan datang dengan ramainya melewati punggunya yang mungil sedikit membungkuk itu.
Ada beberapa staff pramuniaga yang tampak berdatangan untuk bekerja karena jam pergantian shiff mungkin saja tiba.
Oh ternyata beberapa staff mencari seorang ibu-ibu yang barangnya tertinggal.
Terlihat beberapa bayangan staff penjaga toko mengangkat beberapa kardus yang berisi barang-barang yang cukup berat.
Oohhh sepertinya stok barang dari gudang sudah datang.
Beberapa staff mengangkatnya untuk dirapikan di setiap rak-rak tempat makanan.
Oh ternyata berpuluh-puluh kotak minyak bimoli.
Mungkin saja ada diskon besar-besaran untuk menyambut idul adha besok hari senin.
Long weekend terasa sangat mengasyikkan.
Bagaimana tidak, untuk seorang pekerja kantoran sepertiku sangat menantikan liburan yang panjang ini.
Menyibukkan diri dirumah dengan segala macam riuh suara adik-adik yang membuat tawa tercipta di wajah bulatnya.
Angin AC menyentuh kulit seseorang wanita yang sedang duduk di high chair.
Satu botol susu indomilknya sudah habis diminumnya.
Apa yang akan kau lakukan jika dunia sudah tidak berpihak dengan orang sepertimu.
Detik demi detik yang terlewat sudah menjadi menit yang begitu berharga dengan kesendirianmu.
Menit kini sudah menjadi jam yang sudah menjadi menciptakan ribuan imajinasi yang akan siap di upload di udara.
Para pendownload yang sedang bernyusuri lapisan aspal yang masih bercahaya terkena sinar mentari yang sebentar lagi akan sangat indah jika dilihat orang sepasang kekasih yang menghabiskan waktu mereka di pesisir.
Aku ingin hujan hadir saat ini.
Menciptakan melodi indah yang mengalun di sela-sela kesendirian.
Tik...tik...
Rintiknya mampu membangunkan mata yang sudah lama terlelap.
Tik..tik..
Mampu membuat hati membuka pintu yang sudah lama tertutup.
Seperti pintu kaca yang dilewati oleh berpuluh-puluh pasang kaki.
Seperti salam yang diucapkan oleh wajah-wajah ramah yang selalu menyambutmu ketika pintu kaca itu terbuka.
Siapkah hatiku menjadi wajah ramah yang senantiasa menyambut hati para pejalan kaki yang mungkin saja kukenal?
Sudah diakhiri saja tulisan tak menentu arahnya ini.
Ini hanya pengisi kebosanan yang aku ingin jalani di sabtu sore yang penuh dengan pertanyaan ini.
Alunan musik india menemami sore di dalam alfamart pejanggik sore ini.
Oke .
Diakhiri saja saat ini sebelum pertanyaan menggumpal lalu teranyam di dalam otak orang-orang yang meilhatmu duduk sendirian di toko yang dipenuhi oleh para pramuniaga yang menyimpan tanya.
Saturday, September 3, 2016
Ocehan Pagi
Selamat!
Kau telah kembali memungut sisa-sisa debu yang telah kau sapu bersih pagi ini.
Kau telah mengotori hatimu dengan debu.
Kau gunakan debu itu untuk menulis nama seseorang dalam hatimu yang telah sekuat tenaga kau bersihkan saat itu.
Selamat!
Kau kembali menangis ketika memutar video tahun 2011 yang telah lama kau simpan dalam kotak berdebu itu.
Kotak yang kau simpan dalam kardus dipojok atas lemari pakaianmu.
Mengapa segampang itu kau mengeluarkan air mata untuk drama percintaan bodoh itu?
Ayolah!
Itu hanya kebohongan media.
Kebohongan media tentang dua anak manusia yang menjalin cinta lalu wanitanya tersakiti.
Tersakiti karena kepercayaannya telah dikhianati.
Kepercayaan yang membuatnya menjadi seorang wanita pemilih, karena ia tidak ingin lagi memberikan kepercayaan kepada lelaki yang dengan mudahnya mengatakan cinta kepadanya.
Itu kisah dua anak manusia yang melintasi pesisir pantai dan diterpa ombak ketika terik mentari menyentuh manja wajah mereka.
Kisah dua anak manusia yang saling bergandengan di dalam rumah hantu yang menyeramkan.
Kisah dua anak manusia yang saling berjabat tangan lalu memutuskan untuk berpisah untuk selamanya.
Kau telah kembali memungut sisa-sisa debu yang telah kau sapu bersih pagi ini.
Kau telah mengotori hatimu dengan debu.
Kau gunakan debu itu untuk menulis nama seseorang dalam hatimu yang telah sekuat tenaga kau bersihkan saat itu.
Selamat!
Kau kembali menangis ketika memutar video tahun 2011 yang telah lama kau simpan dalam kotak berdebu itu.
Kotak yang kau simpan dalam kardus dipojok atas lemari pakaianmu.
Mengapa segampang itu kau mengeluarkan air mata untuk drama percintaan bodoh itu?
Ayolah!
Itu hanya kebohongan media.
Kebohongan media tentang dua anak manusia yang menjalin cinta lalu wanitanya tersakiti.
Tersakiti karena kepercayaannya telah dikhianati.
Kepercayaan yang membuatnya menjadi seorang wanita pemilih, karena ia tidak ingin lagi memberikan kepercayaan kepada lelaki yang dengan mudahnya mengatakan cinta kepadanya.
Itu kisah dua anak manusia yang melintasi pesisir pantai dan diterpa ombak ketika terik mentari menyentuh manja wajah mereka.
Kisah dua anak manusia yang saling bergandengan di dalam rumah hantu yang menyeramkan.
Kisah dua anak manusia yang saling berjabat tangan lalu memutuskan untuk berpisah untuk selamanya.
Friday, September 2, 2016
23:44, 2 September 2016
Ada saat dimana kau harus memintal kembali kenangan itu.
Kenangan yang sudah lama kerukut oleh waktu.
Kenangan yang kau intip dari balik layar kaca yang sudah rapuh itu.
Kenangan yang seharusnya sudah kau tukar dengan kebahagiaan.
Namun kau tidak bisa berbuat apa-apa.
Kau hanya pecinta bodoh yang masih enggan untuk membiarkannya krukut.
Kau meluruskan kembali, lalu kau pintal itu menjadi kenangan yang baru.
Tidakkah kau lelah wahai wanita?
Tidak kau merasa sepi setelah sekian tahun hatimu tak berpenghuni?
Tidakkah kau merasa jenuh setelah sekian tahun kau memintal kenangan yang sama?
Tidakkah?
23:44
2 september 2016
Efek baper AADC 2 (LAGI)
Kenangan yang sudah lama kerukut oleh waktu.
Kenangan yang kau intip dari balik layar kaca yang sudah rapuh itu.
Kenangan yang seharusnya sudah kau tukar dengan kebahagiaan.
Namun kau tidak bisa berbuat apa-apa.
Kau hanya pecinta bodoh yang masih enggan untuk membiarkannya krukut.
Kau meluruskan kembali, lalu kau pintal itu menjadi kenangan yang baru.
Tidakkah kau lelah wahai wanita?
Tidak kau merasa sepi setelah sekian tahun hatimu tak berpenghuni?
Tidakkah kau merasa jenuh setelah sekian tahun kau memintal kenangan yang sama?
Tidakkah?
23:44
2 september 2016
Efek baper AADC 2 (LAGI)
Subscribe to:
Posts (Atom)